DI MANA LETAK SYUKUR KITA?
Suatu ketika
malaikat Jibril diperintah oleh Allah untuk bertanya kepada kerbau, apakah ia
senang dan bahagia diciptakan sebagai sesekor kerbau. Maka pergilah Jibril
menemui kerbau yang ketika itu sedang berenang di sebuah sungai di bawah
teriknya sinar matahari.
“Hai Kerbau,
apakah engkau senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor kerbau?” Si Kerbau
menjawab, “Masya Allah, Alhamdulillâh saya senang dan bahagia sekali diciptakan
Allah menjadi seekor kerbau, sehingga saya bisa berenang di air sungai seperti
ini, dari pada aku diciptakan sebagai seekor kelelawar yang mandi dengan air
kencingnya sendiri.”
Kemudian,
malaikat Jibril pun berangkat menemui kelelawar dan menanyakan apakah dia
senang dan bahagia diciptakan sebagai kelelawar. “Hai kelelawar, apakah kamu
senang telah dijadikan Allah sebagai seekor kelelawar?”
“Masya
Allah, Alhamdulillâh, saya sangat senang dan bahagia diciptakan menjadi
kelelawar, dengan sayap yang diberikan Allah saya bisa terbang ke mana saja
dalam waktu yang singkat dan cepat, dari pada saya diciptakan-Nya sebagai
seekor cacing. Tubuhnya kecil, tinggal di dalam tanah, berjalannya saja menggunakan perut,” jawab kelelawar. Malaikat Jibril
bergegas pergi menemui cacing yang tengah merayap di atas tanah.
Jibril
bertanya, “Wahai cacing kecil, apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah
SWT sebagai seekor cacing?” Cacing menjawab, “Masya Allah, Alhamdulillâh, saya
sangat senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor cacing, dari pada
dijadikan-Nya aku sebagai seorang manusia. Apabila mereka tidak memiliki iman
yang sempurna dan tidak beramal shaleh, ketika mereka mati mereka akan disiksa
selama-lamanya.”
Begitu banyak
nikmat yang diberi-kan oleh Allah kepada kita. Nikmat iman, nikmat sehat,
nikmat penghidupan, dan masih banyak lainnya. Namun dengan sekian banyak nikmat
yang Allah berikan, seringkali kita lupa dan menjadikan kita makhluk yang
sedikit sekali bersyukur, bahkan tidak bersyukur.
Syukur berarti
merasa berbahagia dengan limpahan nikmat yang menjadi jembatan melaksanakan
ketaatan di jalan Allah. Syukur juga berarti memperbanyak menebar puji-puji
kepada Ilahi Rabbi, dengan lisan maupun hati.
Seperti celoteh kerbau, kelelawar, dan cacing kala mendapat
pertanyaan Jibril, seperti itulah seharusnya pernik-pernik nikmat Allah kita
bingkai dengan kalimat hamdalah dan berbaik sangka
bahwa apa yang telah dipilihkan
Allah selalu yang terbaik untuk kita.
Mari kita
bersyukur, Alhamdu-lillah, jika ada dari
kita masih kesulitan untuk biaya hidup sehari-hari. Tetap bersyukur secara
berujar, “Masya Allah, Alhamdulillah, saya belum Punya penghasilan, sehingga
saya lebih giat lagi untuk mencari pekerjaan, dan saya yakin Allah akan
memudahkan jalan saya.
Mari
kita bersyukur secara berucap dengan lisan yang fasih, Alhamdulillah, meski ada
dari kita yang
belum menikah atau menemukan
jodohnya. Tetaplah bersyukur. “Masya Allah, Alhamdulillah, bahagianya saya
walaupun belum menikah. Saya bisa belajar lebih banyak mempersiapkan diri untuk
kehidupan berkeluarga nanti. Saya juga punya waktu luang untuk berbakti kepada
orang tua. Kalau sudah menikah, mungkin saya harus berbagi waktu, tenaga, dan
pikiran untuk keluarga dan
orang tua. Masya Allah,
Alhamdulillah!”
Sekarang, mari kita bertanya dengan pertanyaan
yang sederhana saja. “Apakah kita selama ini menjadi bahagia karena bersyukur,
ataukah kita menjadi orang yang bersyukur karena kita bahagia?” “Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari kehilangan nikmat
(yang telah Engkau berikan), dari siksa-Mu yang mendadak, dari menurunkannya
kesehatan (yang engkau anugrahkan) dan dari setiap kemurkaan-Mu.” (HR. Muslim
dari Ibnu Umar).*
|