Buletin Edisi ke 3

DI MANA LETAK SYUKUR KITA?

Suatu ketika malaikat Jibril diperintah oleh Allah untuk bertanya kepada kerbau, apakah ia senang dan bahagia diciptakan sebagai sesekor kerbau. Maka pergilah Jibril menemui kerbau yang ketika itu sedang berenang di sebuah sungai di bawah teriknya sinar matahari. 

“Hai Kerbau, apakah engkau senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor kerbau?” Si Kerbau menjawab, “Masya Allah, Alhamdulillâh saya senang dan bahagia sekali diciptakan Allah menjadi seekor kerbau, sehingga saya bisa berenang di air sungai seperti ini, dari pada aku diciptakan sebagai seekor kelelawar yang mandi dengan air kencingnya sendiri.” 

Kemudian, malaikat Jibril pun berangkat menemui kelelawar dan menanyakan apakah dia senang dan bahagia diciptakan sebagai kelelawar. “Hai kelelawar, apakah kamu senang telah dijadikan Allah sebagai seekor kelelawar?” 

                “Masya Allah, Alhamdulillâh, saya sangat senang dan bahagia diciptakan menjadi kelelawar, dengan sayap yang diberikan Allah saya bisa terbang ke mana saja dalam waktu yang singkat dan cepat, dari pada saya diciptakan-Nya sebagai seekor cacing. Tubuhnya kecil, tinggal di dalam tanah, berjalannya saja menggunakan perut,” jawab kelelawar. Malaikat Jibril bergegas pergi menemui cacing yang tengah merayap di atas tanah. 

Jibril bertanya, “Wahai cacing kecil, apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai seekor cacing?” Cacing menjawab, “Masya Allah, Alhamdulillâh, saya sangat senang dan bahagia diciptakan sebagai seekor cacing, dari pada dijadikan-Nya aku sebagai seorang manusia. Apabila mereka tidak memiliki iman yang sempurna dan tidak beramal shaleh, ketika mereka mati mereka akan disiksa selama-lamanya.” 

Begitu banyak nikmat yang diberi-kan oleh Allah kepada kita. Nikmat iman, nikmat sehat, nikmat penghidupan, dan masih banyak lainnya. Namun dengan sekian banyak nikmat yang Allah berikan, seringkali kita lupa dan menjadikan kita makhluk yang sedikit sekali bersyukur, bahkan tidak bersyukur. 

Syukur berarti merasa berbahagia dengan limpahan nikmat yang menjadi jembatan melaksanakan ketaatan di jalan Allah. Syukur juga berarti memperbanyak menebar puji-puji kepada Ilahi Rabbi, dengan lisan maupun hati.   
Seperti celoteh kerbau, kelelawar, dan cacing kala mendapat pertanyaan Jibril, seperti itulah seharusnya pernik-pernik nikmat Allah kita bingkai dengan kalimat hamdalah dan berbaik sangka
bahwa apa yang telah dipilihkan Allah selalu yang terbaik untuk kita. 

Mari kita bersyukur,  Alhamdu-lillah, jika ada dari kita masih kesulitan untuk biaya hidup sehari-hari. Tetap bersyukur secara berujar, “Masya Allah, Alhamdulillah, saya belum Punya penghasilan, sehingga saya lebih giat lagi untuk mencari pekerjaan, dan saya yakin Allah akan memudahkan jalan saya.

                Mari kita bersyukur secara berucap dengan lisan yang fasih, Alhamdulillah, meski ada dari kita yang
belum menikah atau menemukan jodohnya. Tetaplah bersyukur. “Masya Allah, Alhamdulillah, bahagianya saya walaupun belum menikah. Saya bisa belajar lebih banyak mempersiapkan diri untuk kehidupan berkeluarga nanti. Saya juga punya waktu luang untuk berbakti kepada orang tua. Kalau sudah menikah, mungkin saya harus berbagi waktu, tenaga, dan pikiran untuk keluarga dan
orang tua. Masya Allah, Alhamdulillah!”


Sekarang, mari kita bertanya dengan pertanyaan yang sederhana saja. “Apakah kita selama ini menjadi bahagia karena bersyukur, ataukah kita menjadi orang yang bersyukur karena kita bahagia?” “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kehilangan nikmat (yang telah Engkau berikan), dari siksa-Mu yang mendadak, dari menurunkannya kesehatan (yang engkau anugrahkan) dan dari setiap kemurkaan-Mu.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar).*